Search site


Perang Melawan Negara

Perang Melawan Negara

Anarkisme dalam Pemikiran Gilles Deleuze & Max Stirner. 


  Penulis : Saul Newman.
  Penerjemah : Tim Media Kontinum.
  Penerbit : Kontinum.
  Cetakan : Pertama Maret, 2009.
  Tebal : xvi + 61 halaman.
  Sampul : colour 120 g.
  Harga : Rp.10.000.

Pemberontakan mentransformasikan budak menjadi manusia seutuhnya. Walau hanya untuk satu jam saja” - Ed Abbey.

Bahkan dalam diskursus radikal kontemporer sekalipun, para antikapitalis cenderung memandang bahwa Negara sebagai institusi monolitik secara ekonomi dan politik. Setiap kita menyebut Negara, maka yang terbayang adalah sederetan institusi militer, birokrasi sekolah, atau pengadilan di bawahnya, lalu IMF, Bank Dunia, WTO, serta korporasi-korporasi di atasnya.

Demikian posisi Negara dalam triangulasi kekuasaan secara nasional dan juga global, sebagai pelayan, penjamin dan regulator dari kekuatan-kekuatan luar, tempat dimana penjabaran kekuatan tersebut dioperasikan lewat institusi kepunyaan Negara. Sebagai cerminan dari kekuasaan sebuah kelas –yaitu kelas yang berkuasa, maka operasi, arah, tendensi, kebijakan dan kecenderungan sebuah Negara berjalan bergantung dari siapa yang menguasainya atau bergantung pada siapa yang memerintah dalam suatu Negara.

Konsekuensi dari pemahaman tersebut, untuk merubah sebuah masyarakat, setidak-tidaknya agenda revolusioner yang mesti dijalankan adalah perebutan Negara: mengambil alih kepemimpinan dan penguasaan Negara borjuis untuk di-kendalikan oleh dan untuk kelas pekerja. Pengambilalihan dapat berupa kudeta, lewat parlemen atau pun proses elektoral, dengan cara memisahkan diri dari Negara induk, dan lain sebagainya.

Akan tetapi, kita tidak akan kekurangan contoh bagaimana strategi “mengganti majikan lama yang borjuis dengan majikan baru yang pro-pekerja, pro-rakyat” gagal mengendalikan Negara pada saat kepemimpinan nasional atau “majikan baru yang pro-rakyat” itu berada di tampuk kuasa.

Begitu para radikal berkuasa, agenda pertama yang harus dijalankan bukanlah me-reform tanah yang dimiliki tuan tanah dan korporat, pabrik untuk dikelola para pekerjanya, kota untuk dinikmati dan ditinggali oleh masyarakatnya. Dalam perspektif kekuasaan Negara, maka agenda pertama yang harus berjalan, saat kita tahu bahwa kekuatan yang lama takkan pernah rela begitu saja disingkirkan, adalah mempertahankan kekuasaan itu. Dan oposisi pekerja saat meminta pengoperasian otonom pabrik di bawah kontrol mereka dan menolak perwakilan pemerintah dalam jajaran manajemen, dengan segera dilabeli kontra-revolusi, mental borjuis, tidak progresif, dangkal secara teoritik. Cerita-cerita ‘keberhasilan’ sebuah pemerintahan yang pro-rakyat lantas menjadi pembenaran sekaligus menutupi bagaimana sisi lain yang menindas, yang selalu dilabeli “mempertahankan revolusi, mempertahankan kekuasaan populis, menjaga proletariat dictatorship”.

Pertanyaannya adalah mengapa Negara selalu gagal dikendalikan? Jika berasumsi bahwa setiap pemerintahan pro-rakyat itu pada dasarnya berniat baik, mengapa selalu berakhir dengan tragedi yang ironik terhadap mereka yang diklaim diperjuangkan?

Maka kita telah memulai membahas apa yang disebut sebagai logika merawat diri atau self-perpetuation yang secara alamiah inheren dalam Negara. Ini adalah titik tolak awal yang radikal ketika kita memutuskan memandang Negara dari titik yang berbeda dari biasanya.

Saat Negara selalu diidentikkan dengan lembaga-lembaga kekerasan maupun ideologisnya, dengan person yang duduk sebagai birokrasi serta aturan yang diproduksinya, saat Negara hanya dilihat sebagai refleksi kepentingan ekonomi belaka, maka kita telah memulai kegagalan yang terulang dari jaman lampau.

Dalam Perang Melawan Negara inilah, Saul Newman menjamu kita di sebuah gala dinner, dengan menu dari dapur yang tidak biasa. Menyerang kebiasaan kita; memandang Negara dari aspek ekonomi dan menafikkan segala sesuatu di luar itu, layaknya seorang dumpster yang tak punya sense dan imajinasi apa-apa selain merogoh tempat sampah dan menyuap diri dengan apapun yang bisa dilahap disitu.

Dari dapur post-anarchism, sebuah (re)interpretasi anarkisme ber-dasarkan gagasan postrukturalisme, Newman meracik Max Stirner –seorang radikal abad 19 yang tidak terlalu dikenal di luar lingkar-lingkar anarkis, dengan filsuf kaliber abad 20, Gilles Deleuze –yang selalu hanya diidentikkan dengan pemikiran ekletik khas posmodernisme yang rumit dan tidak applicable. Perpaduannya menawarkan sensasi lain. Dan rasanya? Hmmm…

Andrew Koch di tahun 1997 telah melantik Stirner sebagai proto-postrukturalis, karena gaya berfikirnya telah mendahului apa yang kita sebut sekarang sebagai post-structuralism. Sementara Deleuze, bersama Felix Guattari ditasbih oleh Foucalt sebagai penanda suatu era, kelak di kemudian hari, memberikan lompatan luar biasa dalam skizoanalisanya.

Stirner dan Deleuze hidup berbeda zaman, namun lewat Newman, mereka bertemu untuk menjawab tentang bagaimanakah kondisi psikis itu dikreasikan dan dimapankan? Lalu mengapa Negara bisa terus eksis saat hakekat setiap individu adalah mencari kebebasannya, dan mengapa justru kecenderungan manusia adalah justru ingin terus dikuasai? Dengan proposisi seperti itu, betapa berharganya sebuah analisa radikal dalam merumuskan sebuah strategi revolusioner.

Ungkapan Stirner bahwa “ada roda gigi di kepalamu”, yang terus berputar menggerakkan pikiran untuk mengkonstruksi sesuatu yang sebenarnya bertentangan dengan kehendak dasar kita, bertaut dengan Deleuze –bersama Guattari, berdasarkan pengalaman Mei 68, menyadari bahwa keruntuhan revolusi tersebut bukanlah karena kuatnya atau kebangkitan dari tatanan lama yang baru saja babak belur dihantam mahasiswa dan pekerja. Tetapi justru kondisi psikis masyarakatlah yang menuntun mereka kembali ke dunia lama. Alternatif yang ada di kepala mereka hanyalah kembali ke tatanan yang lama. Reposisi tersebut berdasarkan pengalaman hidup harian yang ditempa dalam struktur masyarakat hirarkis dan hipokrit oleh Negara dan Kapital yang mengamputasi kemampuan mereka untuk bangkit dan mengorganisir diri dalam tatanan baru.

Anti-Oedipus karya Deleuze dan The Ego And Its Own karya Stirner menunjukkan hal yang sebangun : karya teoritik yang dalam menyelami keterikatan kita pada kekuasaan baik secara imajiner yang membentuk batasan-batasan dalam pikiran kita yang seakan-akan tidak mampu kita lewati, maupun secara fisik dan psikis yang ditempa sejak kita terlahir. Kesimpulan umumnya dunia baru yang bebas tak semudah yang dibayangkan, selama dalam diri individu sosial masih terikat oleh ‘mentalitas budak’ yang tak rela bebas dan senantiasa ingin dikuasai.

Strukturalisme tidak lagi memadai sebagai satu-satunya alat analisa dalam mengkonfirmasi realitas sosial, dan Deleuze menawarkan sisi lain yang ditenggelamkan dalam sejarah manusia sebagai sejarah rasionalitas. Tidak sebagaimana postrukturalisme lain yang terjebak dalam ombak ontologisnya masing-masing, Stirner dan Deleuze menawarkan sudut pandang lain yang radikal dan sangat membantu melihat kekuasaan atau khususnya Negara dari sisi lain. Mengingat bahwa manusia bukanlah subjek pasif yang deterministik dan dapat diprediksi secara akurat, terlebih saat sebagian besar para radikal antikapitalis kontemporer terlalu terlena dengan analisa ekonomi, yang selalu disuperiorkan sebagai basis dari segala kondisi sosial, maka analisa psikis individu dalam ranah sosial-lah yang semestinya menjadi alternatif.

Hidangan menu Newman ini ditutup dengan pencuci mulut yang ranum dan mengesankan. Bertentangan dengan sinisme dan prasangka umum, bahwa teori-teori yang serupa kepunyaan Stirner dan Deleuze terlalu abstrak dan ‘hanya bagus untuk dipikirkan susah untuk dijabarkan’, apa yang kita temukan dalam Perang Melawan Negara justru hamparan gagasan yang bertebaran layaknya kode-kode digital dalam program open source. Ada berbagai gagasan Deleuze dan Stirner sebagai resolusi dan alternatif yang sifatnya applicable, dapat dipraksiskan dalam membangun gerakan radikal revolusioner, yang bisa “dicomot sana-sini” sesuai kebutuhan dan kondisi lokal. Gagasan-gagasan mengenai rhizome, logika arborescent serta otonomi dan kedirian “the unique one” tidak saja radikal secara konsepsi, namun juga sangat aplikatif. Jelas ini menegasikan prasangka-prasangka umum yang disebut sebelumnya.

Misalnya saja dalam kejadian Seattle 99, sebuah demonstrasi besar-besaran yang fenomenal, gagasan-gagasan Deleuze tentang rhizomatic dan logika non-arborescent dalam struktur organisasi, komunikasi dan pengambilan keputusan, terpraksiskan secara efektif dan luar biasa melalui grup-grup affinitas. Ribuan orang mengorganisir diri dalam sebuah gerakan “banyak denyut” yang horizontal, tak memiliki komando sentral, tak memiliki elit, tak ada isu tunggal yang harus didiktekan ke semua komponen aksi. Kelompok-kelompok kecil tapi banyak itu justru berkoordinasi dengan begitu solid dan menghentak justru saat tak satupun Partai-partai Kiri yang sentralistik itu menampakkan batang hidungnya dan berpartisipasi aktif dalam aksi ini.

Secara metodologis, dalam peristiwa Seattle 99, juga tak bisa dinafikkan bahwa aksi-aksi penghancuran property, molotov cocktail, pertempuran jalanan dan bentuk-bentuk vandalisme lainnya berkontribusi tidak sedikit dalam menyampaikan pesan serta pencapaian target aksi tersebut secara umum yakni penggagalan pertemuan WTO. Para perusuh ini mengambil metoda sebagaimana yang disarankan oleh Stirner: insureksi!

Apabila kita melacak jejaknya secara genealogis bagaimana sebuah gerakan radikal dioperasikan, diorganisir, dirancang dan ditindaklanjuti tersebut, maka jelas kontribusi teoritik dari Deleuze dan Stirner sangat kental.

Hal inilah yang memberikan inspirasi dan kejutan, bahwa potensi radikalisme dalam abad 21 ini masih terbuka luas, sepanjang seseorang dapat belajar banyak dari luka-luka sejarah, dan menghindar dari duri-duri yang siap menancap di kulit.

Hal terakhir yang bisa menjadi pelajaran, bahwa penolakan terhadap Negara (afirmasi, pengakuan dan penempatannya secara taktis) tidak lagi dimonopoli oleh para Anarkis. Apa yang terjadi hari ini justru adalah semakin populernya gerakan-gerakan Marxis yang justru berdiri pada lini anti-Negara. Berkebalikan dengan pandangan umum bahwa para Marxis dan anarkis selalu bertentangan dalam soal Negara, apa yang kemudian lazim disebut dengan pendekatan Marxisme Libertarian, dengan salah satu gagasan intinya adalah menolak Kapital sekaligus menolak Negara – justru mengkonfirmasi gagasan anarkis tentang watak Negara.

Para petani di Chiapas, Meksiko masih berdiri tegak dan belum goyah dalam mengambil model dan takdir berbeda dari gerakan revolusioner sejenis. Zapatista beroposisi keras dengan neoliberal, sekaligus di saat bersamaan juga menghantam Negara Meksiko.

Gagasan libertarian dalam Marxisme justru lahir dari pembacaan sejarah yang dialektis serta pendekatan yang non-dogmatis ini melampaui kalangan Marxis ortodoks (Leninisme, Trotskyisme, Maoisme, dsb) yang gagal melihat sisi lain dari dominasi dan kontrol. Barangkali inilah dampak dari watak dogmatis yang menutup mata untuk membuka diri pada kecenderungan individu dan sosial mutakhir, dan senantiasa berefleksi atas gagasan yang diusung.

Dan pada akhirnya, ungkapan Ed Abbey mengenai pem-berontakan, menjadi kunci dari gagasan-gagasan ini. Kita tidak hanya membutuhkan sebuah revolusi sebagai kejadian, namun juga perlu mendorong dan mengorganisir insureksi, yang tidak lain adalah proses kemenjadian. Tanpa memberontak, seorang budak tidak akan pernah belajar bagaimana menjadi manusia seutuhnya. Untuk menjadi manusia yang utuh, diperlukan pembelajaran yang terus menerus. Kita tidak akan pernah menjumpai sebuah fajar yang terbit di sebuah pagi yang merupakan hari revolusi, tanpa ada pemberontakan di malam dan dini hari.

Inilah analisa non-ekonomi atas negara, sebuah pemikiran memikat yang merangkai penolakan atas negara dan semua struktur otoritaran. Saul Newman merunut pertemuan pemikiran Max Stirner, seorang radikal abad 19 yang tidak terlalu dikenal dalam literatur-literatur formal, dan Gilles Deleuze yang merupakan filsuf besar abad 20. Keduanya menolak pendekatan moralistik dan rasionalis seperti yang sering diajukan para anarkis klasik, juga melampaui argumen-argumen standar para penyokong Negara dan pengafirmasi kekuasaan.

Baik Stirner dan Deleuze, tidak saja memberikan basis pemikiran yang sangat radikal, namun tentu saja melengkapi dan bahkan memperbaharaui argumen anarkis tentang struktur sosial yang otoritarian sekaligus menawarkan alternatifnya.

Mungkinkah menganalisa negara dengan melepaskannya dari sudut pandang ekonomi? Bagaimana cara kerja negara hingga setiap individu tidak lagi merasa dan bahkan butuh untuk dikuasai? Di mana potensi revolusioner hasrat --energi kekal yang tak terprediksi? Mari berjalan-jalan di taman yang penuh bunga; dari politik radikal ke psikoanalisa, dari postruktralisme hingga imajinasi...

Demi terbitnya matahari baru esok hari, selamat belajar ! 

Untuk yang berminat, cara memesannya sebagai berikut :
- kirim alamat dan jumlah pemesanan ke alamat email ini.
- pembayaran dengan cara mentransfer ke no. rek : 0110958515 BNI Tamalanrea Unhas a.n. Faizal
- setelah mentransfer, konfirmasi via email : tanggal transfer dan jumlah transfer
- harga per eks Rp. 10.000,- + ongkos kirim (Rp 10.000 untuk setiap 10 eks, selebihnya berlaku kelipatan, jadi kalau misalnya memesan 12 eks, ongkos kirimnya menjadi Rp 20.000, dst)

Untuk setiap pemesanan kami akan menyertakan beberapa item tambahan sebagai bonus (gratis) selama persediaan masih tersedia. Kami juga tengah mengupayakan jaringan distribusi di tiap-tiap kota. Untuk yang mau membantu mendistribusikan di masing-masing kota, silahkan mengontak kami. Terima Kasih.

Untuk pemesanan silahkan menghubungi Tim Media Kontinum via email :
kontinum@yahoo.com | tim.kontinum@gmail.com